perjuanganmenujusukses.myblogHanna


MAKALAH
HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL
Tentang
PRANATA PERKAWINAN DALAM ISLAM DAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PERKAWINAN

https://pbs.twimg.com/profile_images/855929460284989440/-qKEo50a.jpg

Oleh
Hasanatul Wahida
088172728

Dosen pembimbing
Dr. Hamda Sulfinadia, M.Ag

PROGRAM MAGISTER HUKUM KELUARGA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1440 H /2018 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan  taufik-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Manajemen konflik keluarga yang berjudul mengelani berbagai gaya manajemen konflik keluarga. Kemudian Shalawat beserta salam kepada pucuk pimpinan umat sedunia yakni Nabi Muhammad Saw, yang telah membawa  mukjizat terbesar yaitu al-Qur’an  dan  al-Hadist.
Dalam makalah ini kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu di dalam penyelesaikan makalah ini baik itu moril maupun materil, dan juga kepada ibu Dr. Hamda Sulfinadia, M.Ag selaku dosen pembimbing mata kuliah hukum Islam dan pranata sosial yang telah membimbing dan mengajarkan kami ilmu-ilmu yang bermamfaat terutama di bidang hukum dan norma dalam keluarga.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.





                       



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Masalah
BAB II            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pranata Perkawinan
B.     Hal-hal yang Berkaitan dengan Pranata Perkawinan
C.     Peraturan tentang Perundang-undangan Perkawinan
BAB III          PENUTUP
A.    Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam itu hanya satu dan berlaku bagi seluruh dunia dan sepanjang masa. Namun dalam penerapan hukumnya, terutama masalah perkawinan beragam sesuai dengan di mana hukum itu diberlakukan. Di Indonesia sendiri ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia.
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai  denagn norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga disebut dengan keluarga.  Untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia, maka diperlukan perkawinan. Tidak ada tanpa adanya perkawinan yang sah sesuai dengan norma dan tata aturan yang berlaku.
Dalam halnya perkawinan, ada aturan-aturan yang mengatur mengenai perkawinan. Aturan perkawinan yang dimaksud ada dalam bentuk undang-undang yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaanya dalam bentuk peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975, undang-undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan. Sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam UU No. 7 Tahun 1989. Sedangkan aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman hakim di lembaga peradilan agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya aturan-aturan tersebut bersumber dari hukum syara’ yaitu al-Quran dan sunnah yang menjadi pegangan hidup umat Islam.
Dengan demikian, pemakalah bermaksud untuk menguraikan tentang aturan atau pranata perkawinan dalam Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pranata perkawinan?
2.      Hal-hal apa saja yang termasuk ke dalam pranata perkawinan?
3.      Bagaimana bentuk perundang-undangan perkawinan di indonesia?
C.    Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai:
1.      Untuk mengetahui pranata perkawinan
2.      Untuk mengetahui hal-hal yang termasuk dalam pranata perkawinan
3.      Untuk mengetahui perundang-undangan perkawinan di Indonesia




























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pranata Keluarga
Istilah pranata dalam bahasa Inggris adalah institution. Dalam bahasa Indonesia, pranata adalah norma-norma yang dijadikan pedoman dalam memenuhi kebutuhan spesifik manusia dalam bermasyarakat. Pranata perkawinan yaitu pranata yang berhubungan dengan pranata keluarga yaitu penerimaan status baru, dengan sederetan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan akan status baru oleh orang lain dan terciptanya aturan serta norma dalam sebuah keluarga.[1]
Pranata perkawinan juga disebut dengan pranata kekerabatan merupakan norma-norma dalam memenuhi pemeliharaan dan pengembangan keturunan (reproduksi) juga untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan yang dianut secara kolektif. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan hubungan antar individu di dalam lingkungan keluarga, sebagai organisasi sosial terkecil. Pranata itu mengalokasikan  nilai dan kaidah  al-ahwal al-syakhshiyah, yang berkenaan dengan penerimaan anggota keluarga baru melalui tahapan pelamaran dalam perkawinan, hak dan kewajiban suami istri dalam keluarga, pengaturan kelahiran, pengasuhan dan pendidikan anak, pengaturan harta kekayaan perkawinan, perceraian, dan pengoperalihan hak-hak pemilikan harta apabila anggota keluarga meninggal dunia, yakni peralihan kewarisan.[2]
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa pranata perkawinan yaitu aturan  atau norma-norma yang terdapat dalam keluarga yang diakibatkan adanya suatu perkawinan (akad) antara seorang pria dengan wanita yang memunculkan adanya hak dan kewajiban muali dari terjadinya perkawinan hingga berakhir dan selanjutnya sampai padaa warisan.
B.     Hal yang termasuk dalam Pranata Perkawinan
1.      Pengertian perkawinan
Perkawinan atau pernikahan menurut literatur Fiqih dalam bahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah atau zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan Hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Quran dengan arti kawin.[3] Secara hukum, perkawinan adalah terbentuknya suatu akad ijab kabul secara sah, yang memberikan akibat bolehnya seorang laki-laki menggauli seorang istri dalam arti luas. Perkawinan dalam al-Quran dan Hadis disebut dengan kata (an-nikah) atau kata (az-zawaj). Secara harfiah, nikah berarti al-wath’u, ad-dhammu yang artinya menggauli dan bersetubuh atau bersenggama. Sedangkan ad-dhammu mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan, menggenggam dan memeluk.[4]
Menurut syara’, ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh ulama Fiqih atau para fuqaha. Ulama mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu atau akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki) dapat berarti  juga untuk hubungan kelamin, namun dalam arti tidak sebenarnya (arti majazi)”. Penggunaan kata untuk bukan arti sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar dari kata itu sendiri. Menurut ulama mazhab Hanafi perkawinan/nikah adalah “akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan selama tidak ada halangan syara”.[5]
Sementara menurut Muhammad Abu Zahrah, ahli hukum dari Universitas al-Azhar mengemukakan definisi nikah, yaitu:
ا لنكاح : أنه عقد حل العشرة بين الرجل و المرأة وتعا ونهما و يحد ما لكليهما من حقوق و ما عليهما من و جبا
Artinya:
“Nikah adalah akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, saling tolong menolong diantara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya”.[6]

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), dapat pula diambil pengertian sebagai berikut:
1.      Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang berbunyi: perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[7]
2.      Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf c berbunyi: akad nikah adalah rangkaian ijab kabul yang diucapkan wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.[8]
Beranjak dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian nikah adalah akad yang membolehkan hubungan kelamin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dalam ikatan perkawinan yang melahirkan hak dan kewajiban yang sama antara keduanya.
2.      Dasar Hukum Perkawinan
Bila melihat kepada hakikat perkawinan  merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal suatu perkawinan itu adalah mubah atau boleh. Namun bila dilihat kepada sifatnya atau firman Allah dan Sunah Rasulnya, tentu tidak dapat dikatakan bahwa hukum  asal perkawinan itu hanya semata-mata mubah. Dapat dikatakan bahwa dengan melangsungkan akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi mubah.[9]
Perkawinan adalah suatu yang disuruh oleh Allah dan juga yang disuruh oleh Nabi. Banyak suruhan Allah dalam al-Quran untuk melaksanakan perkawinan. Di antaranya firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ
Artinya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Qs. An-Nur ayat 32).

Begitu banyak suruhan Nabi kepada umatnya untuk melakukan perkawinan. Di antaranya seperti dalam hadis Nabi dari Anas bin Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibnu Hibban, sabda Nabi:
تزوجو الودودالولودفإنى مكاشربكم الامم يوم القيامة
Artinya:
“Kawinkalah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena sesungguhnya aku akan bangga karena banyak kaum dihari kiamat.”[10]

3.      Peminangan
Sebelum masuk dalam hal peminangan, tahapan pertama yang dilalui seseorang menjelang menikah adalah memilih jodoh. Pokok dalam pencarian jodoh diantaranya adalah karena kecantikan atau kegagahan seseorang, karena kekayaan, karena kebangsawanannya, dan karena keagamaannya. Diantara alasan yang banyak itu maka yang menjadi motivasi utama dalam mencari jodoh adalah karena keagamaannya. Hal ini dijelaskan dalam hadis nabi yang muttafaq alaih berasal dari Abu Hurairah ucapan nabi yang bunyinya:
عن ابي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلعم قال تنكح المرأة لأربع لمالها ولحسبها ولجما لها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك (متفق عليه)
Artinya:
“riwayat dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda: “wanita dikawin karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu.” (muttafaq alaih)

Pada pasal 1 bab i kompilasi huruf a memberi pengertian bahwa peminangan ialah kegiatan uapaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan wanita dengan cara yang baik (ma’ruf). Peminangan dapat dilakukan langsung oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (pasal 11 KHI). Peminangan dapat dilakukan secara terang-terangan (sharih) atau dengan sindiran (kinayah). Dalam bahasa al-Quran peminangan disebut dengan khitbah.
Pada prinsipnya apabila peminangan telah terjadi oleh seorang laki-laki terhadap wanita, belum menimbulkan akibat hukum. Kompilasi menegaskan: (1) peminangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan. (2) pemutusan hubungan peminangn dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntutan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai” (pasal 13 KHI)
Karena peminangan prinsipnya belum berakibat hukum, maka diantara mereka yang telah bertunangan, tetap dilarang untuk berkhalwat (berdua-duan di tempat sepi) sampai dengan mereka melakukan akad nikah. Kecuali adanya mahram yang menyertai mereka, maka berdua-duan tadi dibolehkan. Adanya mahram dapat menghindari mereka dari berbuat maksiat.
4.      Pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan disebabakan karena tuntutan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan karenanya perlunya pengaturan mengenai pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur dalam perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaqan ghalidhan) perkawinan, dan leboh khusus lagi untuk melindungi perempuan dan anak-anak dalam kehidupan rumah tangga.  
Ini dapat di lihat dalam penjelasan Undang-undang No. 1 Tahun  1974,
            Pasal 2:
1.      Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan masing-masing.
2.      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Sejak diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (2) masih mengalami kendala yang berkepanjangan yang dirasakan sampai saat sekarang (Kementrian Agama RI 2004, 22). Hal ini boleh jadi karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang memahami ketentuan perkawinan lebih menekankan perspektif Fikih. Menurut pemahaman versi ini, perkawinan dianggap sah apabila syarat dan rukunnya terpenuhi, tanpa diikuti pencatatan yang diikuti oleh akta nikah. Kondisi ini dipraktekan sebagian masyarakat dengan menghidupkan praktek kawin siri tanpa melibatkan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagai petugas yang diserahi tugas untuk mencatat perkawinan itu. Belum lagi apabila ada oknum yang memanfaatkan peluang ini untuk mencari keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan isi dan nilai keadilan yang merupakan misi utama sebuah perkawinan, seperti poligami liar, poliandri. Kenyataan ini menjadi hambatan terjadinya kesuksesan dalam perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan perihal pencatatan perkawinan ini dalam pasal 5:
1.      Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi  masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
2.      Pencatatan  perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam  Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 (Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 1998, 15)
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan tersebut adalah syarat administratif, artinya perkawinan tetap sah, karena standar sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Akibat yang timbul adalah apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti yang sah dan autentik dari perkawinan yang dilangsungkannya.[11]
3.      Hak dan kewajiban suami istri
Hak dan kewajiban suami istri baru muncul setelah keduanya terikat dalam akad nikah dengan pembayaran mahar sesuai dengan permintaan pihak wanita. Suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, yakni mencukupi segala yang diperlukan istrinya baik berupa makanan, tempat tinggal, keperluan-keperluan pelayanan, maupun obat-obatan dan yang lainnya di sekitar sandang, pangan, dan papan.  Kewajiban ini menjadi beban suami sebagai konsekuensi dari akad nikah, karena akad nikah tersebut melahirkan implikasi bahwa suami boleh mambatasi gerak istrinya untuk lebih berkonsentrasi dalam mengurus rumah tangga, mendidik anak dan melayani segala keperluan suami dengan ramah dan menyenangkan dan kalau istri itu banyak menghabiskan waktu diluar rumah untuk berbagai kegiatan profesi yang mengikat dan produktif,  ini dapat menyebabkan kapasitas pelayanan rumah tangga menjadi tidak optimal. Soal pemenuhan kebutuhan rumah tangga seharusnya dibicarakan bersama-sama secara baik dan terbuka. Sebagaimana firman allah surat al-baqarah ayat 228
4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  

Artinya:
“dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Masalah hak dan kewajiban suami dan istri seperti yang diatur dalam pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
1.      Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
2.      Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
3.      Suami adalah kepala kelaurga dan istri adalaha ibu rumah tangga
Maksud dari hak bersama suami istri adalah hak bersama secara timbal balik dari suami istri terhadap yang lain, yaitu:
1.      Bolehnya bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya. Inilah yang menjadi hakikat sebenarnya dari perkawinan itu.
2.      Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istri dan sebalinya hubungan istri dengan keluarga suami yang disebut dnegan mushaharah.
3.      Hubungan saling mewarisi diantara suami istri bila terjadi kematian.
Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama setelah terjadinya perkawinan itu adalah:
1.      Memelihara dan mendidik keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.
2.      Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
5.      Perceraian
Pada dasarnya undang-undang perkawinan menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian hanya bisa dilakukan jika ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan. Dalam islam pada prinsipnya perceraian dilarang. Ini dapat dilihat pada isyarat rasulullah saw bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh allah.
ابغض الحلال الى الله الطلاق (رواه ابوداود وابن ما جةوالحاكم)
Artinya
“sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh allah adalah talak (perceraian)”. (riwayat abu dawud, ibn majah, dan al-hakim, dari ibn umar)

Dalam hadis di atas menunjukan bahwa talak adalah jalan terakhir yang ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan keluarga. Islam menunjukan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian ditempuh usaha-usaha untuk mendamaikan para pihak melalui hakam  (arbitrator) dari kedua belah pihak.
Ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus/terputusnya perkawinan
1.      Terjadinya nusyuz dari pihak istri
Adapun petunjuk mengenai langkah-langkah menghadapi istri yang melakukan nusyuz adalah terdapat dalam surat an-nisa ayat 34 menjelaskan:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  
Artinya:
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
2.      Terjadinya nusyuz dari pihak suami
Dalam surat anisa ayat 128 menjelaskan
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) Ÿxsù yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# šc%x. $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊËÑÈ  
Artinya:
“dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir,  dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau baik kembali. Maksudnya: tabi'at manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya. Kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebahagian hak-haknya, Maka boleh suami menerimanya.
3.      Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami atau istri yang dalam al-Quran disebut dengan syiqaq. Dalam hal ini al-quran memberikan petunjuk dalam surat an-Nisa ayat 35
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ  
Artinya:
“dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Penunjukan hakam dari kedua belah pihak diharapkan dapat mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk menyelesaikan persengketaan di antara keduabelah pihak suami atau istri
4.      Terjadinya salah satu pihak melakukan perzinaan atau fakhsiyah, yang menimbulkan saling tuduh di antara kedua belah pihak. Cara penyelesaiannya adalah membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an. Li’an sesungguhnya telah masuk ke gerbang putusnya perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya karena akibat li’an adalah terjadinya talak bain kubra.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 pada pasal 38 menerangkan bahwa perkawinan dapat putus  karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan  di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai dasar perceraian terdapat dalam pasal 19 PP Nomor 1975. Cerai gugat gugat diajukan ke pengadilan oleh pihak istri, sedangkan cerai talak diajukan oleh pihak suami kepengadilan dengan memohon agar diberi izin untuk megucapkan ikrar talak kepada istrinya dengan suatu alasan yang telah disebutkan. Dalam perkawinan menurut agama islam dapat berupa gugatan karena sumai melanggar ta’lik talak, gugatan karena syiqaq, gugatan karena fasakh, dan gugatan karena alasan-alasan sebagaimana yang tersebut dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Cerai talak maupun  cerai gugat beserta akibat hukumnya seperti iddah, nafkah selama iddah, dan sebagainya dihitung sejak suami mengucapkan ikrar talak di hadapan hakim pengadilan agama.[12]
Bila hubungan perkawinan putus antara suami atau istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah:
a.       Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti kata harus berpisah sebagai suami istri, kecuali adanya kata ruju atau nikah baru kembali.
b.      Memberi mut’ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi.
c.       Melunasi hutang yang wajib dibayar dan yang belum dibayarkan selama masa perkawinan baik dalam bentuk mahar atau nafkah yang bagi sebagian ulama wajib dilakukan.
d.      Berlakunya masa iddah bagi wanita setelah diceraikan oleh suami
e.       Pemeliharaan terhadap anak.


5.      Harta bersama
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur harta kekayaan dalam perkawinan pada Bab VII dalam judul harta benda dalam perkawinan.
Pasal 35
1.      Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.      Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Jadi yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya harta yang mereka dapat dari usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Kajian tentang harta bersama dalam Hukum Islam tidak terlepas dari pembahasan tentang konsep syirkah dalam perkawinan. Banyak ulama  yang berpendapat bahwah harta bersama termasuk dalam konsep syirkah. Mengingat konsep tentang harta bersama tidak ditemuakan dalam rujukan teks al-Quran dan Hadis, maka sesungguhnya kita dapat melakukan qiyas (perbandingan) dengan konsep fiqih yang sudah ada, yaitu tentang syirkah itu sendiri. Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa berhubungan masalah harta bersama tidak disebutkan dalam al-Quran.
Istilah harta bersama merupakan aturan yang dijumpai dalam lapangan hukum perdata pada bagian perjanjian perkawinan. Karena tidak ada ketentuan harta bersama dalam kitab-kitab fiqih, tetapi kemaslahatannya terhadap rumah tangga dapat dibuktikan, didukung  pula oleh rasa kebersamaan hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan, maka KHI mengakui adanya harta bersama sebagai salah satu wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya.[13]
Dalam hal pembagiannya terdapat dalam pasal 97
Pasal 97 KHI
Janda atau duda cerai hidup masing-maisng berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.[14]
Jadi dapat disimpulkan bawa harta bersama adalah percampuaran harta suami denga harta istri mulai saat terjadinya akad nikah dengan sendirinya percampuran harta terjadi, kecuali disebutkan lain dalam perjanjian perkawinan.
Pembagain dengan kompilasi dibagi dua (atau dengan persentase 50:50) belum tentu sepenuhnya dianggap adil dan keputusannya juga tidak mutlak, pembagian ini sebatas pembagian secara formal. Namun, pihak pengadilan dapat memutuskan persentase lain dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu.  Tentang harta bersama ini memang tidak ada pengaturannya dalam al-Quran, hal ini termasuk dalam ijitihad, melihat bagaimana para ulama dalam menyelesaiakan persoalan ini. Karena digolongkan pada Syirkah abdan mufawwadhah maka dilakukan dengan pendekatan dengan hukum adat dapat dilihat pada urf dan sejalan dengan kaidah aladatu muhkamah. Pada sisi lain dapat ditempuh jalan istishlah atau mashlahat mursalah.
6.      Kewarisan
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan yang lebih tepat adalah pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli warisdan berapa bagian masing-masing (pasal 171 huruf a KHI).
Dalam hukum kewarisan islam, yang menyebabkan terjadinya mewarisi adalah sebab nasab, nikah, dan wala’. Sebab nisab adalah menunjuk kepada hubungan keluarga antara pewaris dengan ahli waris. Sebab nikah ialah seseorang memperoleh warisan dikarenakan hubungan suami istri, sedangkan sebab wala’ adalah menunjuk kepada keadaan apabila seseorang memerdekakan hamba, kemudian hamba yang dimerdekakkan itu meninggal dunia tanpa meninggalkan ashobah laki-laki, maka yang memerdekakan tadi mendapat warisan.[15]
C.    Perundang-Undangan Tentang Perkawinan
1.      Pengertian
Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis tertulis bagi golongan-golongan tertentu, yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi warga bumi putra yang beragama Islam. Bagi mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang perkawinan. Bagi mereka selama itu berlaku hukum islam yang sudah diresepilir dalam hukum adat berdasarkan teori receptie. Tuntutan beberapa organisasi di masa itu cukup memberi gambaran bahwa usaha memiliki undang-undang perkawinan sudah diusahakan sejak indonesia belum merdeka.
Adapun yang menjadi peraturan perundang-undangan negara yang mengatur perkawinan yang ditetapkan setelah Indonesia merdeka adalah:
a.       Undang-undang No.32 Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Sebagaimana bunyinya UU materi perkawinan secara keseluruhan. Oleh karena itu, tidak dibicaran dalam bahasan inti.
b.      Undang-undnag No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang merupakan hukum materil dari perkawinan dengan sedikit menggunakan acaranya.
c.       Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 hanya memuat pelaksanaan dari beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974.
d.      Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaian dari materi undang-undang ini memuat aturan yang berkenaan dengan tata cara (hukum formil) penyelelesiaan sengketa perkawinan di pengadilan agama.
e.       Impres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, walaupun sampai sekarang belum berbentuk undang-undang.
UU perkawinan disahkan oleh DPR-RI dalam sidang paripurna tanggal 22 Desember 1973. UU Perkawinan diundang-undangkan sebagai UU No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974.
Di samping peraturan perundang-undangan Negara yang disebut di atas dimasukan pula dalam pengertian UU perkawinan dalam bahasan ini aturan atau ketentuan yang secara efektif telah dijadikan oleh hakim di Pengadilan Agama sebagai pedoman yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan yaitu Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang penyebarluasanya dilakukan melaui insturksi presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. KHI lahir dengan beberapa pertimbangan, di antaranya:
1.      Sebelum lahirnya undang-undang perkawinan, perkawinan umat islam telah diatur oleh hukum agamanya, baik sebelum merdeka RI atau sesedahnya. Hukum yang dimaksud adalah fiqih munakahat.
2.      Dengan keluarnya UU perkawinan, maka UU perkaiwnan itu dinyatakan berlaku untuk seluruh warga Negara Indonesia
3.      Fikih munakahat materinya mencakup pandangan mazhab yang berbeda-beda.
Asas-asas dalam undang-undang perkawinan
a.       Asas sukarela
b.      Asas partisipasi keluarga
c.       Asas perceaian dipersulit
d.      Poligami dibatasi dengan ketat
e.       Kematangan calon mempelai
f.       Memperbaiki derajat kaum wanita[16]
2.      Kandungan dan Ruang Lingkup UU Perkawinan
UU perkawinan terdiri dari 14 Bab yang terbagi dalam 67 pasal. Bab-bab tersebut antara lain:
a.       Dasar perkawinan
b.      Syarat-syarat perkawinan
c.       Pencegahan perkawinan
d.      Batalnya perkawinan
e.       Perjanjian perkawinan
f.       Hak dan kewajiban suami istri
g.      Harta bersama dalam perkawinan
h.      putusnya perkawinan dan akibatnya
i.        kedudukan anak
j.        hak dan kewajiban antara anak dan orang tua
k.      perwalian
l.        ketentuan-ketentuan lain
m.    ketentuan peralihan
n.      ketentuan penutup.
Ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan terdapat dalam buku I dari KHI yang berjudul PERKAWINAN terdiri dari 19 bab dan 170 pasal. Bab-bab tentang perkawinan adalah:
a.       ketentuan umum
b.      dasar perkawinan
c.       peminangan
d.      rukun dan syarat perkawinan
e.       mahar
f.       larangan perkaiwnan
g.      perjanjian perkawinan
h.      kawin hamil
i.        beristri lebih dari satu orang
j.        pencegahan perkawinan
k.      batalnya perkawinan
l.        hak dan kewajiban suami istri
m.    harta kekayaan dalam perkawinan
n.      pemeliharaan anak
o.      perwalian
p.      putusnya perkawinan
q.      akibat putusnya perkawinan
r.        rujuk
s.       masa berkabung.
3.      Materi Perundang-Undangan Tentang Perkawinan VS Fikih
a.       Materi perundang-undangan sama dengan fikih, mislanya rukun dan syarat perkawinan, larangan perkawinan, dan lainnya.
b.      Materi perundang-undangan berbeda dengan fikih, misalnya umur perkawinan
c.       Materi perundang-undangan tidak ada dalam fikih, namun pertimbangan kemaslahatan maka ditambahkan dalam perundang-undangan. Mislanya pencatatan perkawinan, harta bersama
d.      Materi perundang-undangannsecara lahiriyah bertentangan dengan fikih, namun dengan pertimbangan mashlaha bisa dimasukan bisa ke dalam fikih. Misalnya perceraian di pengadilan dan prosedur poligami.
4.      Kelompok Masyarakat Dalam Merespon Perundang-Undangan Perkawinan
a.       Kelompok masyarakat yang ketaatannya kepada fikih mengalahkan ketaatanya pada perundang-undangan perkawinan, sehingga tidak mengakui perundang-undangan perkawinan.
b.      Kelompok masyarakat menjalankan fikih dan juga mengakui perundnag-undangan perkawinan, namun mereka lebih taa kepada fikih.
c.       Kelompok masyarakat yang taat kepada fikih, mengakui tetang hukum positif (Undang-undang), namun mereka menjalankan undang-undang ketika terbentur dengan persoalan fikih.
d.      Kelompok masyarakat yang mengakui perundang-undangan perkawinan sebagai pengganti fikih
Untuk pengetahuan bahwa materi yang di KHI ada yang sama dengan undang-undang dan ada yang berbeda dengan fiki salah satu contohnya adalah masalah pencatatan nikah di KHI tidak disebutkan pencatatan nikah, sedangkan di Undang-undang pada pasal 2 ayat (2)  menyebutkan perkawinan dicatatatkan. Selanjutnya juga mengenai masalah perceraian, undnag-undnag menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus saat di hadapan pengadilan, namun KHI tidan mesyaratkan hal tersebut. Ini menimbulkan dualisme dalam masyarakat tentang perkawinan.
Persoalan yang terjadi dalam masyarakat seputar perkawina:
1.      Nikah tidak tercatat
2.      Cerai tidak dipengadilan (talak liar)
3.      Pemahaman taklik talak (perkawinan kedua sebelum putus perkawinan dengan suami pertama)
4.      Nikah dibawah umur (nikah dini) dilegalkan oleh KUA
5.      Perkawinan perempuan hamil karena zina dan diulang nikah setelah anak lahir, dan sebagainya.



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Pranata perkawinan juga disebut dengan pranata kekerabatan merupakan norma-norma dalam memenuhi pemeliharaan dan pengembangan keturunan (reproduksi) juga untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan yang dianut secara kolektif.  pranata perkawinan yaitu aturan  atau norma-norma yang terdapat dalam keluarga yang diakibatkan adanya suatu perkawinan (akad) antara seorang pria dengan wanita yang memunculkan adanya hak dan kewajiban muali dari terjadinya perkawinan hingga berakhir dan selanjutnya sampai padaa warisan.
2.      Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan hubungan antarindividu di dalam lingkungan keluarga, sebagai prganisasi sosial terkecil. Pranata itu mengalokasikan  nilai dan kaidah  al-ahwal al-syakhshiyah, yang berkenaan dengan penerimaan anggota keluarga keluarga baru melalui tahapan pelamaran dalam perkawinan, hak dan kewajiban suami istri dalam keluarga, pengaturan kelahiran, pengasuhan dan pendidikan anak, pengaturan harta kekayaan perkawinan, perceraian, dan pengoperalihan hak-hak pemilikan harta apabila anggota keluarga meninggal dunia, yakni peralihan kewarisan.
3.      Fokus bahasan dalam makalah ini adalah UU No. 1 Tahun 1974, karena hukum materiil perkawinan keseluruhannya terdapat dalam UU ini. PP No. 9 tahun 1975 hanya sekedar menjelaskan aturan pelaksanaan dari beberapa UU No. 1  Tahun 1974. Sedangkan UU No. 7 Tahun 1989 mengatur hukum acra atau formil dari perkawinan.


[1] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 20
[2] Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT Raja Garafindo Persada, 2004), h. 60
[3] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat, (Bandung:Pustaka Setia, 2001), h. 10
[4] Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahab Sayyedhawwas Azam, , Fiqih Munakahat (Khitbah, Nikah, Dan Talak), (Jakarta: Amzah, 2014), Cet. ke-3., h. 8
[5] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet, ke-3., h. 37
[6] Abu Zahrah,,  Ahwal Asy-Syakhshiyyah, (Mesir: Darul Fikri, 1957)., h. 19
[7] Depertemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, t.p, 2004., h. 16
[8] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di  Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), h. 113
[9] Amir Syarifuddin, Op.Cit., h. 43
[10] Muhammad bin Ismail Al Kahlaini, , Subul al Salam, (Bandung: Dahlan t.th) , Juz III., h. 3
[11] Ahmad Rofiq , Hukum perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. ke-2., h. 93-94
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h, 19
[13] Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Porpek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matriliniar Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Pres, 2013), h. 216
[14] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 60
[15] Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 141
[16] Abdul manan, aneka masalah hukum perdata di indonesia, (jakarta: kencana, 2008), h. 66-12






DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di  Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004)

Ahmad, Saebani Beni, Fiqih Munakahat, (Bandung:Pustaka Setia, 2001)

Bisri, Cik Hasan, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT Raja Garafindo Persada, 2004)

Ismail, Al Kahlaini Muhammad bin, , Subul al Salam, (Bandung: Dahlan t.th) , Juz III.

Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000)

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006).

Sayyedhawwas Azam, Muhammad Abdul Aziz dan Abdul Wahab, Fiqih Munakahat (Khitbah, Nikah, Dan Talak), (Jakarta: Amzah, 2014), Cet. ke-3.
Rofiq, Ahmad, Hukum perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. ke-2.

Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991).

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet, ke-3.
Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Porpek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matriliniar Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Pres, 2013).

Zahrah, Abu,  Ahwal Asy-Syakhshiyyah, (Mesir: Darul Fikri, 1957).

Zainuddin, Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014).

Depertemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, t.p, 2004.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

belajar memahami sesuatu: MAKALAH LAFADZ DARI KEJELASAN MAKNA

belajar memahami sesuatu: makalah LAFADZ DARI KEJELASAN MAKNA