perjuanganmenujusukses.myblogHanna
MAKALAH
HUKUM
ISLAM DAN PRANATA SOSIAL
Tentang
PRANATA PERKAWINAN DALAM ISLAM DAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PERKAWINAN

Oleh
Hasanatul Wahida
088172728
Dosen
pembimbing
Dr.
Hamda Sulfinadia, M.Ag
PROGRAM MAGISTER HUKUM KELUARGA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1440 H /2018 M
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan hidayah dan taufik-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Manajemen konflik keluarga
yang berjudul mengelani berbagai gaya manajemen konflik keluarga. Kemudian
Shalawat beserta salam kepada pucuk pimpinan umat sedunia yakni Nabi
Muhammad Saw, yang telah membawa
mukjizat terbesar yaitu al-Qur’an
dan al-Hadist.
Dalam makalah ini kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu di dalam penyelesaikan
makalah ini baik itu moril maupun materil, dan juga kepada ibu Dr. Hamda
Sulfinadia, M.Ag selaku dosen pembimbing mata kuliah hukum Islam dan pranata
sosial yang telah membimbing dan mengajarkan kami ilmu-ilmu yang bermamfaat
terutama di bidang hukum dan norma dalam keluarga.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pranata Perkawinan
B.
Hal-hal yang Berkaitan dengan
Pranata Perkawinan
C.
Peraturan tentang Perundang-undangan
Perkawinan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam itu hanya satu dan berlaku bagi seluruh dunia dan sepanjang masa.
Namun dalam penerapan hukumnya, terutama masalah perkawinan beragam sesuai
dengan di mana hukum itu diberlakukan. Di Indonesia sendiri ketentuan yang berkenaan
dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang
khusus berlaku bagi warga negara Indonesia.
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan
manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina
sesuai denagn norma agama dan tata
kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan
jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai
penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga disebut dengan
keluarga. Untuk membentuk keluarga yang
sejahtera dan bahagia, maka diperlukan perkawinan. Tidak ada tanpa adanya
perkawinan yang sah sesuai dengan norma dan tata aturan yang berlaku.
Dalam halnya perkawinan, ada aturan-aturan yang mengatur mengenai
perkawinan. Aturan perkawinan yang dimaksud ada dalam bentuk undang-undang
yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaanya dalam bentuk peraturan
pemerintah No. 9 Tahun 1975, undang-undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan.
Sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam UU No. 7 Tahun 1989. Sedangkan
aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman hakim di lembaga peradilan agama
adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan
disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam. Selanjutnya aturan-aturan tersebut bersumber dari hukum syara’ yaitu
al-Quran dan sunnah yang menjadi pegangan hidup umat Islam.
Dengan demikian, pemakalah bermaksud untuk menguraikan tentang aturan atau
pranata perkawinan dalam Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini adalah
1. Apa yang dimaksud dengan pranata perkawinan?
2. Hal-hal apa saja yang termasuk ke dalam pranata perkawinan?
3. Bagaimana bentuk perundang-undangan perkawinan di indonesia?
C. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai:
1. Untuk mengetahui pranata perkawinan
2. Untuk mengetahui hal-hal yang termasuk dalam pranata perkawinan
3. Untuk mengetahui perundang-undangan perkawinan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pranata Keluarga
Istilah pranata dalam bahasa Inggris adalah institution. Dalam bahasa Indonesia,
pranata adalah norma-norma yang dijadikan pedoman dalam memenuhi kebutuhan
spesifik manusia dalam bermasyarakat. Pranata perkawinan yaitu pranata yang
berhubungan dengan pranata keluarga yaitu penerimaan status baru, dengan
sederetan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan akan status baru oleh
orang lain dan terciptanya aturan serta norma dalam sebuah keluarga.[1]
Pranata perkawinan juga disebut dengan pranata kekerabatan merupakan
norma-norma dalam memenuhi pemeliharaan dan pengembangan keturunan (reproduksi)
juga untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan yang dianut secara kolektif.
Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan hubungan antar individu di
dalam lingkungan keluarga, sebagai organisasi sosial terkecil. Pranata itu mengalokasikan nilai dan kaidah al-ahwal al-syakhshiyah, yang berkenaan
dengan penerimaan anggota keluarga baru melalui tahapan pelamaran dalam
perkawinan, hak dan kewajiban suami istri dalam keluarga, pengaturan kelahiran,
pengasuhan dan pendidikan anak, pengaturan harta kekayaan perkawinan,
perceraian, dan pengoperalihan hak-hak pemilikan harta apabila anggota keluarga
meninggal dunia, yakni peralihan kewarisan.[2]
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa pranata perkawinan yaitu aturan atau norma-norma yang terdapat dalam keluarga
yang diakibatkan adanya suatu perkawinan (akad) antara seorang pria dengan
wanita yang memunculkan adanya hak dan kewajiban muali dari terjadinya
perkawinan hingga berakhir dan selanjutnya sampai padaa warisan.
B. Hal yang termasuk dalam Pranata Perkawinan
1.
Pengertian perkawinan
Perkawinan atau pernikahan menurut literatur
Fiqih dalam bahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah atau zawaj.
Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak
terdapat dalam al-Quran dan Hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat
dalam al-Quran dengan arti kawin.[3] Secara
hukum, perkawinan adalah terbentuknya suatu akad ijab kabul secara sah, yang
memberikan akibat bolehnya seorang laki-laki menggauli seorang istri dalam arti
luas. Perkawinan dalam al-Quran dan Hadis disebut dengan kata (an-nikah)
atau kata (az-zawaj). Secara harfiah, nikah berarti al-wath’u,
ad-dhammu yang artinya menggauli dan bersetubuh atau bersenggama. Sedangkan
ad-dhammu mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan, menggenggam dan
memeluk.[4]
Menurut syara’, ada beberapa definisi
nikah yang dikemukakan oleh ulama Fiqih atau para fuqaha. Ulama mazhab Syafi’i
mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan
suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu atau akad
dalam arti yang sebenarnya (hakiki) dapat berarti juga untuk hubungan kelamin, namun dalam arti
tidak sebenarnya (arti majazi)”. Penggunaan kata untuk bukan arti
sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar dari kata itu sendiri. Menurut
ulama mazhab Hanafi perkawinan/nikah adalah “akad yang memfaedahkan halalnya
melakukan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan selama tidak ada halangan syara”.[5]
Sementara menurut Muhammad Abu Zahrah, ahli
hukum dari Universitas al-Azhar mengemukakan definisi nikah, yaitu:
ا لنكاح : أنه عقد حل العشرة بين الرجل و المرأة وتعا ونهما و يحد ما
لكليهما من حقوق و ما عليهما من و جبا
Artinya:
“Nikah adalah akad yang menjadikan halalnya
hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, saling
tolong menolong diantara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban antara
keduanya”.[6]
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), dapat pula diambil pengertian
sebagai berikut:
1. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang berbunyi: perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[7]
2.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf c
berbunyi: akad nikah adalah rangkaian ijab kabul yang diucapkan wali dan kabul
yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.[8]
Beranjak dari kutipan di atas dapat diketahui
bahwa pengertian nikah adalah akad yang membolehkan hubungan kelamin antara
seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dalam ikatan perkawinan yang
melahirkan hak dan kewajiban yang sama antara keduanya.
2. Dasar Hukum Perkawinan
Bila melihat kepada hakikat perkawinan merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan
perempuan melakukan sesuatu yang tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa
hukum asal suatu perkawinan itu adalah mubah atau boleh. Namun bila dilihat
kepada sifatnya atau firman Allah dan Sunah Rasulnya, tentu tidak dapat
dikatakan bahwa hukum asal perkawinan
itu hanya semata-mata mubah. Dapat dikatakan bahwa dengan melangsungkan akad
perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi mubah.[9]
Perkawinan adalah suatu yang disuruh oleh
Allah dan juga yang disuruh oleh Nabi. Banyak suruhan Allah dalam al-Quran
untuk melaksanakan perkawinan. Di antaranya firman Allah dalam surat an-Nur
ayat 32:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
Artinya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha mengetahui.” (Qs. An-Nur ayat 32).
Begitu banyak suruhan Nabi kepada umatnya
untuk melakukan perkawinan. Di antaranya seperti dalam hadis Nabi dari Anas bin
Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibnu Hibban, sabda Nabi:
تزوجو الودودالولودفإنى مكاشربكم
الامم يوم القيامة
Artinya:
“Kawinkalah perempuan-perempuan yang dicintai
yang subur, karena sesungguhnya aku akan bangga karena banyak kaum dihari
kiamat.”[10]
3.
Peminangan
Sebelum masuk dalam hal peminangan, tahapan pertama yang dilalui seseorang
menjelang menikah adalah memilih jodoh. Pokok dalam pencarian jodoh diantaranya
adalah karena kecantikan atau kegagahan seseorang, karena kekayaan, karena
kebangsawanannya, dan karena keagamaannya. Diantara alasan yang banyak itu maka
yang menjadi motivasi utama dalam mencari jodoh adalah karena keagamaannya. Hal
ini dijelaskan dalam hadis nabi yang muttafaq alaih berasal dari Abu Hurairah
ucapan nabi yang bunyinya:
عن ابي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلعم قال تنكح المرأة لأربع لمالها ولحسبها
ولجما لها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك (متفق عليه)
Artinya:
“riwayat dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda:
“wanita dikawin karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya,
dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka akan memelihara
tanganmu.” (muttafaq alaih)
Pada pasal 1 bab i kompilasi huruf a memberi
pengertian bahwa peminangan ialah kegiatan uapaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan wanita dengan cara yang baik (ma’ruf).
Peminangan dapat dilakukan langsung oleh orang yang berkehendak mencari
pasangan jodoh tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya
(pasal 11 KHI). Peminangan dapat dilakukan secara terang-terangan (sharih) atau
dengan sindiran (kinayah). Dalam bahasa al-Quran peminangan disebut dengan
khitbah.
Pada prinsipnya apabila peminangan telah terjadi oleh seorang laki-laki
terhadap wanita, belum menimbulkan akibat hukum. Kompilasi menegaskan: (1)
peminangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan
hubungan peminangan. (2) pemutusan hubungan peminangn dilakukan dengan tata
cara yang baik sesuai dengan tuntutan agama dan kebiasaan setempat, sehingga
tetap terbina kerukunan dan saling menghargai” (pasal 13 KHI)
Karena peminangan prinsipnya belum berakibat hukum, maka diantara mereka
yang telah bertunangan, tetap dilarang untuk berkhalwat (berdua-duan di
tempat sepi) sampai dengan mereka melakukan akad nikah. Kecuali adanya mahram
yang menyertai mereka, maka berdua-duan tadi dibolehkan. Adanya mahram dapat
menghindari mereka dari berbuat maksiat.
4. Pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan disebabakan karena tuntutan perkembangan, dengan
berbagai pertimbangan kemaslahatan karenanya perlunya pengaturan mengenai
pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur
dalam perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaqan
ghalidhan) perkawinan, dan leboh khusus lagi untuk melindungi perempuan dan
anak-anak dalam kehidupan rumah tangga.
Ini dapat di lihat
dalam penjelasan Undang-undang No. 1 Tahun
1974,
Pasal 2:
1.
Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
masing-masing.
2.
Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Sejak diundangkannya
UU No. 1 Tahun 1974 Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (2)
masih mengalami kendala yang berkepanjangan yang dirasakan sampai saat sekarang
(Kementrian Agama RI 2004, 22). Hal ini boleh jadi
karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang memahami ketentuan perkawinan
lebih menekankan perspektif Fikih. Menurut pemahaman versi ini, perkawinan
dianggap sah apabila syarat dan rukunnya terpenuhi, tanpa diikuti pencatatan
yang diikuti oleh akta nikah. Kondisi ini dipraktekan sebagian masyarakat
dengan menghidupkan praktek kawin siri tanpa melibatkan Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) sebagai petugas yang diserahi tugas untuk mencatat perkawinan itu. Belum
lagi apabila ada oknum yang memanfaatkan peluang ini untuk mencari keuntungan
pribadi, tanpa mempertimbangkan isi dan nilai keadilan yang merupakan misi
utama sebuah perkawinan, seperti poligami liar, poliandri. Kenyataan ini
menjadi hambatan terjadinya kesuksesan dalam perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menjelaskan perihal pencatatan perkawinan ini dalam pasal 5:
1.
Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
2.
Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 (Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 1998, 15)
Ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur tentang pencatatan tersebut adalah syarat administratif, artinya
perkawinan tetap sah, karena standar sah atau tidaknya perkawinan ditentukan
oleh norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Tanpa
pencatatan, suatu perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Akibat yang
timbul adalah apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain
tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti yang sah dan
autentik dari perkawinan yang dilangsungkannya.[11]
3.
Hak dan kewajiban suami istri
Hak dan kewajiban suami istri baru muncul setelah keduanya terikat dalam
akad nikah dengan pembayaran mahar sesuai dengan permintaan pihak wanita. Suami
wajib memberi nafkah kepada istrinya, yakni mencukupi segala yang diperlukan
istrinya baik berupa makanan, tempat tinggal, keperluan-keperluan pelayanan,
maupun obat-obatan dan yang lainnya di sekitar sandang, pangan, dan papan. Kewajiban ini menjadi beban suami sebagai
konsekuensi dari akad nikah, karena akad nikah tersebut melahirkan implikasi
bahwa suami boleh mambatasi gerak istrinya untuk lebih berkonsentrasi dalam
mengurus rumah tangga, mendidik anak dan melayani segala keperluan suami dengan
ramah dan menyenangkan dan kalau istri itu banyak menghabiskan waktu diluar
rumah untuk berbagai kegiatan profesi yang mengikat dan produktif, ini dapat menyebabkan kapasitas pelayanan
rumah tangga menjadi tidak optimal. Soal pemenuhan kebutuhan rumah tangga
seharusnya dibicarakan bersama-sama secara baik dan terbuka. Sebagaimana firman
allah surat al-baqarah ayat 228
4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Artinya:
“dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Masalah hak dan kewajiban suami dan istri seperti yang diatur dalam pasal
31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
3.
Suami adalah kepala kelaurga dan istri adalaha
ibu rumah tangga
Maksud dari hak bersama suami istri adalah hak
bersama secara timbal balik dari suami istri terhadap yang lain, yaitu:
1.
Bolehnya bergaul dan bersenang-senang diantara
keduanya. Inilah yang menjadi hakikat sebenarnya dari perkawinan itu.
2. Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istri dan sebalinya hubungan istri
dengan keluarga suami yang disebut dnegan mushaharah.
3.
Hubungan saling mewarisi diantara suami istri
bila terjadi kematian.
Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama
setelah terjadinya perkawinan itu adalah:
1.
Memelihara dan mendidik keturunan yang lahir
dari perkawinan tersebut.
2. Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
5.
Perceraian
Pada dasarnya undang-undang perkawinan
menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian hanya
bisa dilakukan jika ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang
pengadilan. Dalam islam pada prinsipnya perceraian dilarang. Ini dapat dilihat
pada isyarat rasulullah saw bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal
yang paling dibenci oleh allah.
ابغض الحلال الى الله الطلاق (رواه ابوداود وابن ما
جةوالحاكم)
Artinya
“sesuatu perbuatan yang halal yang paling
dibenci oleh allah adalah talak (perceraian)”. (riwayat abu dawud, ibn majah,
dan al-hakim, dari ibn umar)
Dalam hadis di atas menunjukan bahwa talak
adalah jalan terakhir yang ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan keluarga.
Islam menunjukan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian ditempuh
usaha-usaha untuk mendamaikan para pihak melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak.
Ada empat kemungkinan yang terjadi dalam
kehidupan rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk
memutus/terputusnya perkawinan
1.
Terjadinya nusyuz dari pihak istri
Adapun petunjuk mengenai langkah-langkah menghadapi istri yang melakukan
nusyuz adalah terdapat dalam surat an-nisa ayat 34 menjelaskan:
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4
àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4
ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur (
÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3
¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Artinya:
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami
isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin
suaminya. Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan
pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak
bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat
juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan
bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang
lain dan seterusnya.
2.
Terjadinya nusyuz dari pihak suami
Dalam surat anisa ayat 128 menjelaskan
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) xsù yy$oYã_ !$yJÍkön=tæ br& $ysÎ=óÁã $yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4
ßxù=Á9$#ur ×öyz 3
ÏNuÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4
bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# c%x. $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊËÑÈ
Artinya:
“dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz
atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya
Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara
baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami
isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin
suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya;
tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Seperti isteri bersedia
beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau baik kembali. Maksudnya: tabi'at
manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada orang lain dengan
seikhlas hatinya. Kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebahagian
hak-haknya, Maka boleh suami menerimanya.
3.
Terjadinya perselisihan atau percekcokan
antara suami atau istri yang dalam al-Quran disebut dengan syiqaq. Dalam
hal ini al-quran memberikan petunjuk dalam surat an-Nisa ayat 35
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3
¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz ÇÌÎÈ
Artinya:
“dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud
Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Penunjukan hakam dari kedua belah pihak
diharapkan dapat mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk menyelesaikan
persengketaan di antara keduabelah pihak suami atau istri
4.
Terjadinya salah satu pihak melakukan
perzinaan atau fakhsiyah, yang menimbulkan saling tuduh di antara kedua
belah pihak. Cara penyelesaiannya adalah membuktikan tuduhan yang didakwakan,
dengan cara li’an. Li’an sesungguhnya telah masuk ke gerbang putusnya
perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya karena akibat li’an adalah
terjadinya talak bain kubra.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 pada pasal 38
menerangkan bahwa perkawinan dapat putus
karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Kemudian dalam
pasal 39 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan yang
dapat digunakan sebagai dasar perceraian terdapat dalam pasal 19 PP Nomor 1975.
Cerai gugat gugat diajukan ke pengadilan oleh pihak istri, sedangkan cerai
talak diajukan oleh pihak suami kepengadilan dengan memohon agar diberi izin
untuk megucapkan ikrar talak kepada istrinya dengan suatu alasan yang telah
disebutkan. Dalam perkawinan menurut agama islam dapat berupa gugatan karena
sumai melanggar ta’lik talak, gugatan karena syiqaq, gugatan karena
fasakh, dan gugatan karena alasan-alasan sebagaimana yang tersebut dalam pasal
19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Cerai talak maupun cerai gugat beserta akibat hukumnya seperti iddah,
nafkah selama iddah, dan sebagainya dihitung sejak suami mengucapkan
ikrar talak di hadapan hakim pengadilan agama.[12]
Bila hubungan perkawinan putus antara suami
atau istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah:
a.
Hubungan antara keduanya adalah asing dalam
arti kata harus berpisah sebagai suami istri, kecuali adanya kata ruju atau
nikah baru kembali.
b. Memberi mut’ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang
diceraikannya sebagai suatu kompensasi.
c. Melunasi hutang yang wajib dibayar dan yang belum dibayarkan selama masa
perkawinan baik dalam bentuk mahar atau nafkah yang bagi sebagian ulama wajib
dilakukan.
d. Berlakunya masa iddah bagi wanita setelah diceraikan oleh suami
e. Pemeliharaan terhadap anak.
5. Harta bersama
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur harta kekayaan
dalam perkawinan pada Bab VII dalam judul harta benda dalam perkawinan.
Pasal 35
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Jadi yang dimaksud dengan harta bersama adalah
harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan.
Maksudnya harta yang mereka dapat dari usaha mereka atau sendiri-sendiri selama
masa ikatan perkawinan. Kajian tentang harta bersama dalam Hukum Islam tidak
terlepas dari pembahasan tentang konsep syirkah dalam perkawinan. Banyak
ulama yang berpendapat bahwah harta
bersama termasuk dalam konsep syirkah. Mengingat konsep tentang harta
bersama tidak ditemuakan dalam rujukan teks al-Quran dan Hadis, maka
sesungguhnya kita dapat melakukan qiyas (perbandingan) dengan konsep
fiqih yang sudah ada, yaitu tentang syirkah itu sendiri. Jadi, tidak
bisa dikatakan bahwa berhubungan masalah harta bersama tidak disebutkan dalam
al-Quran.
Istilah harta bersama merupakan aturan yang
dijumpai dalam lapangan hukum perdata pada bagian perjanjian perkawinan. Karena
tidak ada ketentuan harta bersama dalam kitab-kitab fiqih, tetapi
kemaslahatannya terhadap rumah tangga dapat dibuktikan, didukung pula oleh rasa kebersamaan hak dan kewajiban
suami istri dalam perkawinan, maka KHI mengakui adanya harta bersama sebagai
salah satu wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya.[13]
Dalam hal pembagiannya terdapat dalam pasal 97
Pasal 97 KHI
Janda atau duda cerai hidup masing-maisng
berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.[14]
Jadi dapat disimpulkan bawa harta bersama
adalah percampuaran harta suami denga harta istri mulai saat terjadinya akad
nikah dengan sendirinya percampuran harta terjadi, kecuali disebutkan lain
dalam perjanjian perkawinan.
Pembagain dengan kompilasi dibagi dua (atau
dengan persentase 50:50) belum tentu sepenuhnya dianggap adil dan keputusannya
juga tidak mutlak, pembagian ini sebatas pembagian secara formal. Namun, pihak
pengadilan dapat memutuskan persentase lain dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu. Tentang harta bersama ini
memang tidak ada pengaturannya dalam al-Quran, hal ini termasuk dalam ijitihad,
melihat bagaimana para ulama dalam menyelesaiakan persoalan ini. Karena
digolongkan pada Syirkah abdan mufawwadhah maka dilakukan dengan
pendekatan dengan hukum adat dapat dilihat pada urf dan sejalan dengan
kaidah aladatu muhkamah. Pada sisi lain dapat ditempuh jalan istishlah
atau mashlahat mursalah.
6. Kewarisan
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan yang lebih
tepat adalah pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa yang berhak menjadi ahli warisdan berapa bagian masing-masing
(pasal 171 huruf a KHI).
Dalam hukum kewarisan islam, yang menyebabkan
terjadinya mewarisi adalah sebab nasab, nikah, dan wala’. Sebab nisab
adalah menunjuk kepada hubungan keluarga antara pewaris dengan ahli waris.
Sebab nikah ialah seseorang memperoleh warisan dikarenakan hubungan suami
istri, sedangkan sebab wala’ adalah menunjuk kepada keadaan apabila
seseorang memerdekakan hamba, kemudian hamba yang dimerdekakkan itu meninggal
dunia tanpa meninggalkan ashobah laki-laki, maka yang memerdekakan tadi
mendapat warisan.[15]
C. Perundang-Undangan Tentang Perkawinan
1. Pengertian
Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis tertulis bagi
golongan-golongan tertentu, yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi warga
bumi putra yang beragama Islam. Bagi mereka tidak ada aturan sendiri yang
mengatur tentang perkawinan. Bagi mereka selama itu berlaku hukum islam yang
sudah diresepilir dalam hukum adat berdasarkan teori receptie. Tuntutan
beberapa organisasi di masa itu cukup memberi gambaran bahwa usaha memiliki
undang-undang perkawinan sudah diusahakan sejak indonesia belum merdeka.
Adapun yang menjadi peraturan perundang-undangan negara yang mengatur perkawinan
yang ditetapkan setelah Indonesia merdeka adalah:
a. Undang-undang No.32 Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang
Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang
pencatatan nikah, talak, rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura.
Sebagaimana bunyinya UU materi perkawinan secara keseluruhan. Oleh karena itu,
tidak dibicaran dalam bahasan inti.
b. Undang-undnag No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang merupakan hukum
materil dari perkawinan dengan sedikit menggunakan acaranya.
c. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.
1 Tahun 1974 hanya memuat pelaksanaan dari beberapa ketentuan yang terdapat
dalam UU No. 1 Tahun 1974.
d. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaian dari
materi undang-undang ini memuat aturan yang berkenaan dengan tata cara (hukum
formil) penyelelesiaan sengketa perkawinan di pengadilan agama.
e.
Impres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, walaupun
sampai sekarang belum berbentuk undang-undang.
UU perkawinan disahkan oleh DPR-RI dalam sidang
paripurna tanggal 22 Desember 1973. UU Perkawinan diundang-undangkan sebagai UU
No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974.
Di samping peraturan perundang-undangan Negara
yang disebut di atas dimasukan pula dalam pengertian UU perkawinan dalam
bahasan ini aturan atau ketentuan yang secara efektif telah dijadikan oleh
hakim di Pengadilan Agama sebagai pedoman yang harus diikuti dalam penyelesaian
perkara perkawinan yaitu Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang
penyebarluasanya dilakukan melaui insturksi presiden RI No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. KHI lahir dengan beberapa pertimbangan, di
antaranya:
1.
Sebelum lahirnya undang-undang perkawinan,
perkawinan umat islam telah diatur oleh hukum agamanya, baik sebelum merdeka RI
atau sesedahnya. Hukum yang dimaksud adalah fiqih munakahat.
2. Dengan keluarnya UU perkawinan, maka UU perkaiwnan itu dinyatakan berlaku
untuk seluruh warga Negara Indonesia
3.
Fikih munakahat materinya mencakup pandangan
mazhab yang berbeda-beda.
Asas-asas dalam undang-undang perkawinan
a. Asas sukarela
b. Asas partisipasi keluarga
c. Asas perceaian dipersulit
d. Poligami dibatasi dengan ketat
e. Kematangan calon mempelai
f. Memperbaiki derajat kaum wanita[16]
2.
Kandungan dan Ruang Lingkup UU Perkawinan
UU perkawinan terdiri dari 14 Bab yang terbagi
dalam 67 pasal. Bab-bab tersebut antara lain:
a.
Dasar perkawinan
b. Syarat-syarat perkawinan
c. Pencegahan perkawinan
d. Batalnya perkawinan
e. Perjanjian perkawinan
f. Hak dan kewajiban suami istri
g. Harta bersama dalam perkawinan
h. putusnya perkawinan dan akibatnya
i.
kedudukan anak
j.
hak dan kewajiban antara anak dan orang tua
k. perwalian
l.
ketentuan-ketentuan lain
m. ketentuan peralihan
n.
ketentuan penutup.
Ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan
terdapat dalam buku I dari KHI yang berjudul PERKAWINAN terdiri dari 19 bab dan
170 pasal. Bab-bab tentang perkawinan adalah:
a.
ketentuan umum
b. dasar perkawinan
c. peminangan
d. rukun dan syarat perkawinan
e. mahar
f. larangan perkaiwnan
g. perjanjian perkawinan
h. kawin hamil
i.
beristri lebih dari satu orang
j.
pencegahan perkawinan
k. batalnya perkawinan
l.
hak dan kewajiban suami istri
m. harta kekayaan dalam perkawinan
n. pemeliharaan anak
o. perwalian
p. putusnya perkawinan
q. akibat putusnya perkawinan
r.
rujuk
s. masa berkabung.
3. Materi Perundang-Undangan Tentang Perkawinan VS Fikih
a. Materi perundang-undangan sama dengan fikih, mislanya rukun dan syarat
perkawinan, larangan perkawinan, dan lainnya.
b. Materi perundang-undangan berbeda dengan fikih, misalnya umur perkawinan
c. Materi perundang-undangan tidak ada dalam fikih, namun pertimbangan
kemaslahatan maka ditambahkan dalam perundang-undangan. Mislanya pencatatan
perkawinan, harta bersama
d. Materi perundang-undangannsecara lahiriyah bertentangan dengan fikih, namun
dengan pertimbangan mashlaha bisa dimasukan bisa ke dalam fikih. Misalnya
perceraian di pengadilan dan prosedur poligami.
4. Kelompok Masyarakat Dalam Merespon Perundang-Undangan Perkawinan
a. Kelompok masyarakat yang ketaatannya kepada fikih mengalahkan ketaatanya
pada perundang-undangan perkawinan, sehingga tidak mengakui perundang-undangan
perkawinan.
b. Kelompok masyarakat menjalankan fikih dan juga mengakui perundnag-undangan
perkawinan, namun mereka lebih taa kepada fikih.
c. Kelompok masyarakat yang taat kepada fikih, mengakui tetang hukum positif
(Undang-undang), namun mereka menjalankan undang-undang ketika terbentur dengan
persoalan fikih.
d. Kelompok masyarakat yang mengakui perundang-undangan perkawinan sebagai
pengganti fikih
Untuk pengetahuan bahwa materi yang di KHI ada yang sama dengan
undang-undang dan ada yang berbeda dengan fiki salah satu contohnya adalah
masalah pencatatan nikah di KHI tidak disebutkan pencatatan nikah, sedangkan di
Undang-undang pada pasal 2 ayat (2)
menyebutkan perkawinan dicatatatkan. Selanjutnya juga mengenai masalah
perceraian, undnag-undnag menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus saat di
hadapan pengadilan, namun KHI tidan mesyaratkan hal tersebut. Ini menimbulkan
dualisme dalam masyarakat tentang perkawinan.
Persoalan yang terjadi dalam masyarakat seputar perkawina:
1. Nikah tidak tercatat
2. Cerai tidak dipengadilan (talak liar)
3. Pemahaman taklik talak (perkawinan kedua sebelum putus perkawinan dengan
suami pertama)
4. Nikah dibawah umur (nikah dini) dilegalkan oleh KUA
5. Perkawinan perempuan hamil karena zina dan diulang nikah setelah anak
lahir, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pranata perkawinan juga disebut dengan pranata kekerabatan merupakan
norma-norma dalam memenuhi pemeliharaan dan pengembangan keturunan (reproduksi)
juga untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan yang dianut secara
kolektif. pranata perkawinan yaitu
aturan atau norma-norma yang terdapat
dalam keluarga yang diakibatkan adanya suatu perkawinan (akad) antara seorang
pria dengan wanita yang memunculkan adanya hak dan kewajiban muali dari
terjadinya perkawinan hingga berakhir dan selanjutnya sampai padaa warisan.
2. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan hubungan antarindividu di
dalam lingkungan keluarga, sebagai prganisasi sosial terkecil. Pranata itu
mengalokasikan nilai dan kaidah al-ahwal al-syakhshiyah, yang berkenaan
dengan penerimaan anggota keluarga keluarga baru melalui tahapan pelamaran
dalam perkawinan, hak dan kewajiban suami istri dalam keluarga, pengaturan
kelahiran, pengasuhan dan pendidikan anak, pengaturan harta kekayaan
perkawinan, perceraian, dan pengoperalihan hak-hak pemilikan harta apabila
anggota keluarga meninggal dunia, yakni peralihan kewarisan.
3. Fokus bahasan dalam makalah ini adalah UU No. 1 Tahun 1974, karena hukum
materiil perkawinan keseluruhannya terdapat dalam UU ini. PP No. 9 tahun 1975
hanya sekedar menjelaskan aturan pelaksanaan dari beberapa UU No. 1 Tahun 1974. Sedangkan UU No. 7 Tahun 1989
mengatur hukum acra atau formil dari perkawinan.
[2] Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial,
(Jakarta: PT Raja Garafindo Persada, 2004), h. 60
[4] Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahab
Sayyedhawwas Azam, , Fiqih Munakahat (Khitbah, Nikah, Dan Talak),
(Jakarta: Amzah, 2014), Cet. ke-3., h. 8
[5] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet, ke-3., h. 37
[11]
Ahmad Rofiq , Hukum perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. ke-2., h. 93-94
[13] Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Porpek Doktrin Islam dan
Adat Dalam Masyarakat Matriliniar Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Pres,
2013), h. 216
[16] Abdul manan, aneka masalah hukum perdata
di indonesia, (jakarta: kencana, 2008), h. 66-12
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 2004)
Ahmad, Saebani Beni, Fiqih
Munakahat, (Bandung:Pustaka Setia, 2001)
Bisri, Cik Hasan, Pilar-Pilar
Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT Raja Garafindo
Persada, 2004)
Ismail, Al Kahlaini
Muhammad bin, , Subul al Salam, (Bandung: Dahlan t.th) , Juz III.
Kahmad, Dadang, Sosiologi
Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000)
Manan, Abdul, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006).
Sayyedhawwas Azam, Muhammad Abdul Aziz dan
Abdul Wahab, Fiqih Munakahat (Khitbah, Nikah, Dan Talak), (Jakarta:
Amzah, 2014), Cet. ke-3.
Rofiq, Ahmad, Hukum perdata Islam Di Indonesia,
(Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. ke-2.
Sudarsono, Hukum
Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991).
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam
Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet, ke-3.
Yaswirman, Hukum
Keluarga: Karakteristik dan Porpek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat
Matriliniar Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Pres, 2013).
Zahrah, Abu, Ahwal Asy-Syakhshiyyah, (Mesir: Darul
Fikri, 1957).
Zainuddin, Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2014).
Depertemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, t.p,
2004.
Komentar
Posting Komentar