belajar memahami sesuatu: makalah LAFADZ DARI KEJELASAN MAKNA


MAKALAH
USHUL FIKIH
Tentang
LAFAZ DARI KEJELASAN MAKNANYA
(WUDHUH AL-MAKNA)

https://pbs.twimg.com/profile_images/855929460284989440/-qKEo50a.jpg

Oleh
Hasanatul Wahida
088172728

Dosen pembimbing
Dr. Zainal Azwar, M.Ag

PROGRAM MAGISTER HUKUM KELUARGA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1439 H /2018 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan  taufik-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ushul Fikih yang berjudul lafaz dari kejelasan makna. Kemudian Shalawat beserta  salam kepada pucuk pimpinan umat sedunia yakni Nabi Muhammad Saw, yang telah membawa  mukjizat terbesar yaitu al-Qur’an  dan  al-Hadist.
Dalam makalah ini kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu di dalam penyelesaikan makalah ini baik itu moril maupun materil, dan juga kepada bapak Dr. Zainal Azwar, M.Ag selaku dosen pembimbing mata kuliah ushul fikih yang telah membimbing dan mengajarkan kami ilmu-ilmu yang bermamfaat terutama di bidang ilmu ushul fikih.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.





                       




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Masalah
BAB II            PEMBAHASAN
A.    Lafaz dari kejelasan makna
B.     Tingkat kehujjahan pada lafaz
BAB III          KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Secara garis besar, dalam ilmu Ushul Fikih lafaz dari segi kejelasan artinya terbagi kepada dua macam, yaitu lafaz yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya. Dimaksud dengan lafaz yang terang artinya ini adalah yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Jenis ini terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu zhâhir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan yang dimaksud lafaz yang tidak terang artinya adalah yang belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Jenis ini pun terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu khafi, musykil, mujmal, dan mutasyâbih
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tingkatan-tingkatan yang terkait dengan lafaz yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya, yakni mengenai zhahir, nash, mufassar, muhkam.
B.    Rumusan Masalah
Pada uraian makalah ini, pembahasannya akan penulis batasi dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana bentuk lafaz dari kejelasan maknanya?
2.      Bagaimana kehujjahan lafaz tersebut?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu Zhahir, Nash, Mufassar, dan Muhkam.
2.      Untuk mengetahui tingkat kehujjahan masing-masing laffaz tersebut.











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Lafaz Dilalah Dari Kejelasan Maknanya
Wadhih dilalah merupakan sesuatu yang menunjukkan maksud darinya dengan sighatnya sendiri, tanpa bergantung atau berpatokan kepada selain dirinya.
Ada 4 tingkatan yang berbeda dalam hal wadhih ini menurut pembagian Hanafiyah. Dasar perbedaan itu adalah lafaz-lafaz yang mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan atau tidak secara umum bentuknya.[1]
1)      Mengandung takwil, jelas maknanya, maksud darinya bukanlah maksud yang asli dari siyaq kalam, ini merupakan zhahir.
2)      Mengandung takwil, dan maksud darinya merupakan maksud asli dari konteks, kalimat ini merupakan nash.
3)      Tidak mengandung takwil, dan tidak menyetujui penghapusan hukum, tidak ada pemahaman pada makna lain ini adalah mufassar.
4)      Tidak mengandung takwil dan tidak menyetujui penghapusan hukum. Ini adalah bentuk muhkam.
Berikut penjelasannya:
1.      Zhahir
Zhahir menurut bahasa adalah البين الواضح   artinya jelas.[2]
Sedangkan menurut istilah, Wahbah Zuhaily menyebutkan pengertiannya sebagai berikut:
الظا هر: هوكل لفظ أوكلا م ظهر المعنى المراد به للسا مع بصيغه، من غير توقف على قرينة خارجية أوتأمل، سواءكان مسوقا للمراد منه أم لا.
zhahir adalah seluruh lafaz atau kalimat yang makna yang dimaksud telah jelas dari apa yang ada pada nya, sehingga tidak butuh lagi kepada penjelasan selain dari dia atau pengkajian lanjutan.”[3]
Zhahir secara bahasa adalah lafaz yang bisa dipahami maknanya secara langsung tanpa ada kesamaran atau zhahir adalah lafaz yang jelas maknanya tanpa memerlukan qarinah untuk menafsirkannya atau menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan hanya mendengarkan bunyi lafaznya.[4]
Sedangkan dalam pengertian lain zhahir didefenisikan sebagai:
“sesuatu yang jelas maknanya dengan sighatnya tanpa tergantung kepada di luar itu atau penelitian, ada kemungkinan untuk ditakwil kalam tersebut menunjukkan makna dan hukum dari lafaznya jelas dan sighatnya sendiri  tanpa diteliti lagi.”[5]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah lafaz yang bisa dipahami secara langsung, yang jelas maknanya hanya dengan mendenganr bunyi lafaznya orang sudah paham dengan maksud yang dituju.
Contoh lafaz zhahir adalah dalam fiman allah surat al-baqarah ayat 275:
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Makna zhahir ayat di atas yang secara cepat dapat ditangkap pemahamannya adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Kata halal dan haram telah jelas arti dan maksudnya tanpa membutuhkan qarinah dari luar. Meskipun demikian ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk menyatakan halalnya jual beli dan haramnya riba sebagaimana yang dipahami dengan cepat pada ayat tersebut. Tetapi ayat itu untuk membantah anggapan orang munafik waktu itu yang menyamakan riba dengan jual beli. Hukum yang jelas (zhahir) dimungkinkan menerima ta’wil (memalingkan dari makna zhahirnya).[6]
Contoh lain, Allah berfirman dalam surat al-Hasyr: 7
4 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqß§9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.
Zhahir ayat di atas adalah kewajiban untuk taat kepada Rasul terhadap segala yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang, karena inilah yang mudah dipahami secara cepat (mudah).[7]
Adapun hukum zhahir wajib diamalkan sesuai dengan maknanya yang zhahir tersebut selama tidak terdapat dalil atau alasan lain yang memalingkannya kepada arti lain, dan wajib diamalkan sepanjang tidak ada dalil yang menghendaki untuk mengamalkan tehadap yang bukan zhahir. Karena asal adalah tidak memalingkan lafaz dari zhahirnya, kecuali ada dalil yang menghendaki hal itu, dan lafaz itu mengandung kemungkinan takwil.[8]
2.      Nash
Nash merupakan sesuatu yang menambahkan penjelasan bagi zhahir dengan adanya suatu lafaz yang mengiringi lafaz tersebut dari orang yang bicara (mutakallim) bukan dari lafaz yang ada pada zhahir tersebut, jadi penambahan penjelasan dari zhahir yang bukan berasal dari konteks kalimat itu sendiri itu, itu sebagai penambahan dari mutakallim sendiri, itu bertujuan sebagai tambahan.[9]
Pengertian yang lain yaitu, lafaz yang menunjukan makna tentang sesuatu yang bisa ditakwil dan takhsis. Nash ialah suatu lafaz yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas dan terdapat kemungkinan untuk ditakwilkan dan ditakhsiskan serta tidak dapat dinasakh kecuali pada masa nabi.[10]
Hanafiyah yang membedakan antara zhahir dengan nash memberikan defenisi terhadap nash,
هو مادل بنفس صيغته على المعنى المقصودأ صالة على ما سيق له ويحتمل التأويل
lafaz dengan sigatnya sendiri menunjukan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan untuk ditakwilkan.”[11]
Jadi dapat dipahami bahwa Nash ialah suatu lafal yang lebih jelas maknanya atau pengertiannya dari zahir dan pengertian tersebut dapat dipahami dari susunan atau ungkapan kalimatnya.
Contoh lafaz nash dalam firman allah surat an-Nisa: 24
¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ
“dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yang disebutkan bagimu).”
Ayat ini disebutkan setelah menyebutkan perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini laki-laki. Hal ini berarti tidak haramnya semua perempuan yang tidak disebutkkan dalam zhahir ayat tersebut. Termasuk kawin yang kelima. Namun, zhahir ayat tersebut bertentangan dengan nash ayat 3 surat an-Nisa:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷r
“dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,  Maka (kawinilah) seorang saja.”
Ayat ini secara tegas memberikan batasan perkawinan hanya sampai empat orang istri. Dengan demikian perkawinan kelima sebagaimana dapat dilakukan berdasarkan zhahir ayat sebelumnya menjadi batal menurut nash ayat tersebut.[12] 
Dilihat dari segi dilalahnya hukum nash lebih kuat dibanding dari zhahir, oleh karena itu jika terjadi pertentangan antara nash dengan zhahir maka yang dimenangkan adalah nash untuk diamalkan. Hanya saja ada kemungkinan untuk ditakwilkan dan pentakwilan itu jauh dari zhahir. Tidak ada tambahan penjelasan nya, jika terjadi adanya pertentangan antara nash dengan zhahir maka didahulukan nash.[13]
Perbedaan antara nash dengan zhahir:
1.      Dalalah nash lebih jelas dibanding zhahir.
2.      Makna nash adalah makna asli yang dikehendaki dari lafaz itu sedangkan zhahir bukan makna yang dikehendaki.
3.      Kemungkinan untuk ditakwilkan, nash lebih jauh dibanding zhahir.
4.      Ketika terjadi pertentangan antara nash dengan zhahir, maka dikembalikan kepada makna nash.
Abu Zahra dalam bukunya ushul fiqh, menjelaskan pendapat ulama tentang kaitan makna zhahir dengan nash. Kebanyakan ulama ushul fiqih dari kalangan Malikiyah, Syafi’iah, dan Hanabilah menyamakan zhahir dengan nash. Namun sebagaian ulama lainya kalangan Malikiyah dan Syafiiyah menyatakan bahwa zhahir dan nash  itu berbeda, nash tidak menerima kemungkinan makna lain, sedangkan zhahir masih menerima kemungkinan makna lain.[14]
Oleh karena itu ahli ushul fiqh kalangan ulama Syafi’iyah menjelakan bahwa zhahir hanya sampai pada tingkat zhan (dengan kuat), artinya makna yang lebih jelas dan mudah dipahami yang merupakan ciri dari makna zhahir, tetapi masih ada kemungkinan untuk dipahami dengan pengertian lain. contohnya “saya melihat macan”. Kata macan pada contoh ini bisa mengandung dua arti, pertama makna zhahir “macan” adalah binatang buas yang berani dan kuat. Kedua makna majaz (takwil) yaitu seorang laki-laki yang pemberani.
3.      Mufassar
Secara bahasa kata الـمـفـسـر berasal dari kata فـسـر yang berarti terang, menerangkan, jelas.
Adapun menurut isltilah sebagaimana yang didefenisikan oleh Wahbah Zuhaily bahwa mufassar adalah
هواللفظ الذي دل على معناه دلالة اكشروضوحا من النص والظاهر،بحيث لايحتمل التأويل والتخصيض، ولكنه يقبل النسخ في عهد الرسالة.[15]
“merupakan lafaz yang menunjukkan terhadap makna secara lebih jelas dari lafaz nash dan lafaz zhahir. Pembahasannya tidak membawa pada takwil dan takhsis tetapi mufassar tidak menerima nasakh pada masa risalah.
Abdul Wahab Khalaf mendefenisikan mufasar adalah
مادل بنفس صيغته على معناه المفصل تفصيلا بحيث لايبقى معه احتما ل للتأويل.
“suatu lafaz dengan sigahtnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terperinci, begitu terperincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz tersebut.[16]
Dari pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mufassar adalah penunjukan terhadap lafaz yang telah jelas terhadap lafaz itu sendiri, tanpa memerlukan qarinah dari luar dan tidak mungkin ditakwilkan.
Lafaz mufassar terbagi menjadi dua, yaitu:[17]
a.       Menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terperinci sehingga tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Contoh, firman Allah surat an-Nur ayat 24
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ  
“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.[18]
b.      Asal lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman lain artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehinggga ia menjadi jelas. Lafaz seperti ini jua disebut mubayyan.
Contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 110
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4
“ dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”
Ayat di atas masih bersifat global untuk dipahami. Kemudian datang penjelasan dari Nabi dalam sunnah berupa perbuatan dan perkataan beliau yang menjelaskan perkara-perkara mujmal tersebut sehingga ayat di atas menjadi terperinci.[19] Seperti tata cara pelaksanaan shalat dijelaskan melalui hadis nabi:
صلواكما رأيتموني أصلي
“shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku shalat.” 
Ketentuan beramal dengan lafaz mufassar bila menyangkut pelaksanaan hukum adalah wajib beramal  menurut yang telah dirinci secara jelas dan tidak mungkin dialihkan kepada maksud lain (ditakwil).
Lafaz mufassar itu dari segi penunjukannya terhadap makna yang dimaksud lebih jelas dari lafaz nash dan lafaz zhahir, karena sifatnya memang lebih jelas dibandingkan dengan nash dari segi tafsirannya yang terinci, sehingga mufassar tidak mungkin untuk ditakwil dan apa yang dituju menjadi terang. Karena penjelasan mufassar itu lebih kuat dari nash atau zhahir.
4.      Muhkam
Menurut bahasa muhkam artinya  المحكم berarti tepat, tetap, dan pasti.  Adapun secara istilah Abu Zahra mendefenisikan:
هو الفظ الدال على المقصودالذى سيق له وهوواضح في معناه لايقبل تأ ويلاولاتخصيصا
muhkam ialah suatu lafaz yang menunjukan kepada pengertian yang jelas dengan tidak menerima takwil dan takhsis.”[20]
Sedangkan Wahbah zuhaily mendefenisikan:
هواللفظ الذي دل بصيغته على معناه دلالة واضحة لا تحمل تأويلا ولا تخصيصا ولانسخا في حا ل ة النبي صلى الله عليه وسلم ،ولا بعد وفا ته بالاء ولى.

“muhkam yaitu suatu lafaz dari sighatnya yang memberi petunjuk kepada maknanya dengan dengan penunjukan yang sangat jelas tidak ada kemungkinan untuk ditakwil, ditakhsis dan dinasakh baik semasa hidup Nabi SAW maupun setelah beliau wafat.”[21]
Dapat disimpulkan yang dimaksud dengan muhkam ialah suatu lafal yang sangat jelas dilalahnya yang ditunujukkan oleh lafal itu sendiri dan tidak dapat ditakwil dan dinasakh
Lafaz muhkam berada pada tingkat tingkat paling atas dari segi kejelasan artinya karena lafaz ini menunjukan makna yang dimaksud sesuai dengan kehendak dalam ungkapan si pembicara. Tidak menerimanya muhkam terhadap kemungkinan nasakh terkadang disebabkan oleh teks lafaz itu sendiri yang menghendaki demikian dan terkadang karena Nabi telah meninggal dan tidak ditemui keterangan bahwa hukum yang berlaku itu telah dinasakh. Juga tidak menerima nasakh pada masa risalah Muhammad dan waktu kekosongan turun wahyu al-Quran , dan atau sesudahnya. Karena hukum yang diambil adakalanya berupa hukum kaidah-kaidah agama yang bersifat asasi (fundamental) dan tidak dapat menerima penggantian seperti mengesahkan Allah, mempercayai para Rasul serta kitab-Nya atau prinsip-prinsip keutamaan yang tidak akan berubah lantaran perubahan situasi seperti berbakti kepada orang tua dan berbuat adil atau hukum cabang yang merupakan bagian (anak cabang), tetapi terdapat bukti bahwa syar’i menguatkan syariatnya.
Berikut contoh  lafaz muhkam:
a.       Sabda Nabi Muhammad
الجهاد ما ض إلى يوم القيامة
“jihad itu berlaku sampai hari kiamat”
Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin  berlakunya pembatalan dari segi waktu.

b.      Qs. An-Nur(24)  ayat 4:
tŸwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Kata أَبَدًا(selama-lamanya) dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.
      Lafaz muhkam terbagi menjadi dua macam:
1)      Muhkam lizatihi ( المحكم لذاته ) atau muhkam dengan sendirinya tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaznya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin dinasakh.Contoh
wur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
2)      Muhkam lighairihi المحكم لغيره) ( atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafaz itu di nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi tidak ada nash yang menasakhnya. Lafaz dalam bentuk ini dalam istilah ushul fiqih disebut lafaz yang qath’i penunjukannya terhadap hukum. Contoh
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ  
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
Hukum muhkam adalah wajib diamalkan secara  pasti. ia tidak mengandung kemungkinan untuk dipalingkan dari zhahirnya dan penasakhannya.[22] Ketentuan tentang lafaz muhkam bila menyangkut hukum adalah wajib penunjukan lafaz muhkam atas hukum lebih kuat dibandingkan dengan tiga bentuk lafaz sebelumnya, sehingga bila berbenturan pemahaman antara lafaz muhkam dengan bentuk lafaz yang lain, maka harus didahulukan  yang muhkam dalam pengalamanya.[23]
B.     Tingkat Kehujjahan
Keempat macam lafaz-lafaz yang menunjukkan arti yang jelas sebagaimana dijelaskan di atas mulai dari muhkam, mufassar, nash dan zhahir, masing-masing memiliki tingkat dalam kehujjahanya. Maka jika terjadi pertentangan antara nash dan zhahir maka nash dimenangkan, karena nash maknanya lebih jelas dibandingkan zhahir dan juga karena nash mengandung maksud utama pembicaraan sedangkan makna zhahir bukan maksud utama dari pembicaraan. Begitu juga pendapat al-Sarkhisi yang menganggap lafaz nash itu lebih jelas dari zhahir karena  disertai qarinah yang datang dari lafaz si pembicara dan jika tanpa qarinah tersebut maka lafaz itu tidak akan begitu jelas.
Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum lebih kuat dibandingkan dengan zhahir, karena penunjukannya nash lebih terang dari segi maknanya. Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan antara nash dengan zahir dalam penunjukannya, maka didahulukan nash.
Jika terjadi pertentangan antara nash dan mufassar, maka mufassar didahulukan dan dimenangkan karena mufassar dilihat dari dalalahnya lebih jelas dibangding nash serta mufassar tidak menerima takwil karena sudah sangat jelas. Demikian selanjutnya jika terjadi pertentangan muhkam dan mufassar maka yang dimenangkan adalah muhkam karena dalalah muhkam lebih jelas dan pasti dibandingkan mufassar. Dengan demikian, jika diletakkan secara berurutan dilihat dari kualitas kejelasannya maka yang menempati urutan pertama adalah muhkam, kedua mufassar ketiga nash dan keempat zhahir.






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Wudhuh makna menurut Hanafiyah terbagi kepada empat, yaitu zhahir, nash, mufassar dan muhkam. Maka jika nash itu mengandung takwil dan yang dimaksudkan itu bukan tujuan dari asal dari redaksi katanyanitu disebut zhahir. Jika mengandung takwil dan yang dimaksud dari nash itu adalah tujuan asal redaksi itu maka itu disebut dengan nash. Selanjutnya tidak mengandung takwil, dan tidak juga tidak menyetujui nasakh, tidak ada pemahaman pada makna lain, maka disebut dengan mufassar, dan tidak ditakwilkan, serta hukumnya tidak mengandung nasakh maka disebut dengan muhkam.
Diantara pembagian yang empat tersebut, yang paling tinggi tingkat kejelasannya adalah muhkam. Jika terjadi pertentangan antara zhahir dengan  nash, maka yang didahulukan adalah nash, begitupun jika terjadi pertentangan mufassar dengan muhkam, maka yang didahuukan adalah muhkam.


[1] Abd al-Wahhab Abd al-Salam Thawilah, Atsar al-Lughah fi ikhtilaf al-mujtahidin, (Darus as-salam Attobaah Wannasayara Wattauzi’I wattarjamah, t.th) h. 269
[2] Ibid
[3] Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami Juz I, (Siria-Damaskus: Dar Al-Fikr,  1986 Cet I), h. 217
[4] Abu Zahra, Ushul Fiqh, (T.Tp:  Dar Al-Fikri Al-Araby, Mulatazam At-Thabi’i Wa At-Tasyri’i, T.Th) h. 121
[5] Abd al-Wahhab Abd al-Salam Thawilah, Op.cit, h. 269
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 6
[7] Ibid  h. 7
[8] Abdul Wahaf Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 246
[9]Wahbah Zuhaili,Op. Cit,  h.  318
[10] Abd al-Wahhab Abd al-Salam Thawilah, Op.cit, h. 272
[11] Amir Syarifuddin, Op.Cit, h. 7
[12] Amir Abdul Azizi, Ushul Fiqh Islami, Jilid 2, (T.Tp: Dar Islam.T.Th), h. 542
[13] Abd al-Wahhab Abd al-Salam Thawilah,Op.cit, h. 273
[14] Saipudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011) h. 198
[15] Wahba Zuhaili, Op.Cit  h. 321
[16] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (T.Tp,: Dar Atturast, T.Th)  h. 166
[17] Amir Syarifuddin, Op.cit,  h. 9
[18] Wahba Zuhaili, Op. cit  h. 321
[19] Amir Abdul Aziz, Op.cit, h.543
[20] Abu Zahrah, Op. cit,  h. 123
[21] Wahbah Zuhaili, Op. cit, h.323
[22] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 256
[23] Ibid,
 









DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azizi, Amir Ushul Fiqh Islami, Jilid 2, (T.tp: Dar Islam.T.Th)
Abu Zahra Muhammad, Ushul Fiqh, (T.Tp:  Dar Al-Fikri Al-Araby, Mulatazam At-Thabi’i Wa At-Tasyri’i, T.Th)
al-Salam Thawilah Abd al-Wahhab Abd, Atsar al-Lughah fi ikhtilaf al-mujtahidin, (Darus as-salam Attobaah Wannasayara Wattauzi’I wattarjamah, t.th)
Shidiq Saipudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011)
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001)
Wahab Khalaf, Abdul Ilmu Ushul Fiqh, (T.Tp,: Dar Atturast, T.Th) 
Wahaf Khalaf Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994)
Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami Juz I, (Siria-Damaskus: Dar Al-Fikr,  1986 Cet I)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

belajar memahami sesuatu: MAKALAH LAFADZ DARI KEJELASAN MAKNA

perjuanganmenujusukses.myblogHanna